Ini adalah buku ketiga dari lanjutan seri Anak Semua Bangsa. Di buku ini diceritakan Minke melawan pemerintah kolonial dengan membentuk organisasi serta membangun pers. Itu digunakannya sebagai alat untuk memobilisasi massa agar terlibat melawan kolonial. Pada 1901, Minke melanjutkan sekolahnya di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi. Siswa yang sekolah di sini akan dipekerjakan oleh gubermen (pemerintah kolonial Belanda). Semenjak sekolah, Minke tidak pernah berhenti untuk menulis. Tulisannya banyak yang berkaitan dan mengkritik pemerintah dan diterbitkan di koran. Dengan membawa massa untuk melakukan perlawanan, perlahan organisasi kerakyatan lahir di antaranya Boedi Oetomo, Petani Samin, Serikat Dagang Islam, dan masih banyak organisasi pribumi lainnya. Tokoh-tokoh revolusioner juga kerap hadir dan bermunculan. Sadikoen, Tjipto, Haji Misbach, Marco, Sandiman, Haji Moeloek, Haji Samadi, Princess van Kasiruta (istri ketiga Minke), Siti Soendari, dan beberapa tokoh lain. Medan Prijaji semakin dikenal masyarakat pribumi sebagai koran penerbit yang memuat persoalan tentang penindasan yang dilakukan oleh gubermen. Namun, Medan Prijaji mendapat sorotan dari gubermen dan mendapat peringatan. Minke, saat itu sebagai pemimpin Medan Prijaji ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Sebelum ditangkap, Minke telah mengantisipasi penangkapannya. Sebelumnya, ia beserta kawan seperjuangannya melakukan pertemuan yang membahas nasib Medan Prijaji dan beberapa organisasi bentukan Minke. Hasilnya, telah disepakati agar Medan Prijaji dan organisasi tetap beroperasi semasa Minke menjalani masa penahanannya. Penangkapan Minke adalah langkah gubermen untuk menbendung kesadaran yang dibangun olehnya, yang terbangun lewat koran dan keikutsertaannya dalam organisasi. Sebagai penutup jilid ketiga seri ini, Pram menyisipkan pesan, "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan".
Ini adalah buku ketiga dari lanjutan seri Anak Semua Bangsa. Di buku ini diceritakan Minke melawan pemerintah kolonial dengan membentuk organisasi serta membangun pers. Itu digunakannya sebagai alat untuk memobilisasi massa agar terlibat melawan kolonial. Pada 1901, Minke melanjutkan sekolahnya di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi. Siswa yang sekolah di sini akan dipekerjakan oleh gubermen (pemerintah kolonial Belanda). Semenjak sekolah, Minke tidak pernah berhenti untuk menulis. Tulisannya banyak yang berkaitan dan mengkritik pemerintah dan diterbitkan di koran. Dengan membawa massa untuk melakukan perlawanan, perlahan organisasi kerakyatan lahir di antaranya Boedi Oetomo, Petani Samin, Serikat Dagang Islam, dan masih banyak organisasi pribumi lainnya. Tokoh-tokoh revolusioner juga kerap hadir dan bermunculan. Sadikoen, Tjipto, Haji Misbach, Marco, Sandiman, Haji Moeloek, Haji Samadi, Princess van Kasiruta (istri ketiga Minke), Siti Soendari, dan beberapa tokoh lain. Medan Prijaji semakin dikenal masyarakat pribumi sebagai koran penerbit yang memuat persoalan tentang penindasan yang dilakukan oleh gubermen. Namun, Medan Prijaji mendapat sorotan dari gubermen dan mendapat peringatan. Minke, saat itu sebagai pemimpin Medan Prijaji ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Sebelum ditangkap, Minke telah mengantisipasi penangkapannya. Sebelumnya, ia beserta kawan seperjuangannya melakukan pertemuan yang membahas nasib Medan Prijaji dan beberapa organisasi bentukan Minke. Hasilnya, telah disepakati agar Medan Prijaji dan organisasi tetap beroperasi semasa Minke menjalani masa penahanannya. Penangkapan Minke adalah langkah gubermen untuk menbendung kesadaran yang dibangun olehnya, yang terbangun lewat koran dan keikutsertaannya dalam organisasi. Sebagai penutup jilid ketiga seri ini, Pram menyisipkan pesan, "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan".